Makalah Berbahasa Secara Komunikatif dan Santun
MAKALAH
BERBAHASA SECARA KOMUNIKATIF DAN SANTUN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pembelajaran Bahasa Imdonesia

disusun oleh :
Nur Lailatuz Zahroh (16188201028)
STKIP PGRI PASURUAN
PENDIDIKAN DAN SASTRA INDONESIA 2016 A
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kita begitu banyak nikmat,
diantaranya nikmat iman dan islam, lebih-lebih nikmat kesehatan sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk
yang sederhana.
Salam
dan salawat semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita yaitu Nabi
Muhammad SAW, nabi yang menjadi suri tauladan kita dan saya juga mengucapkan
terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini, khususnya ucapan terimakasih kami sampaikan kepada bapak M. Bayu
Firmansyah. M.Pd. selaku dosen mata kuliah Metode Pembelajaran BI yang telah
menuntun dan mengarahkan saya sampai akhirnya makalah ini selesai. Dan
mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfa’at bagi para pembaca. Amin!
Dalam makalah ini sungguh masih terdapat banyak kesalahan baik dalam bentuk
penulisannya maupun dalam bentuk penyusunannya, maka dari itu saya
mengharapkan kepada para pembaca makalah ini dapat diberikan masukan dan kritik yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Penyusun
Nur Lailatuz Zahroh
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.........................................................................................................................
Daftar
Isi...................................................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN........................................................................................................
1 1.1 Latar Belakang.............................................................................................................
1 1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................
1 1.3 Tujuan.........................................................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN......................................................................................................
2.1
Pengertian Santun Berbahasa..........................................................................................
2.2 Alasan Berbahasa Santun..........................................................................................
2.3 Pembentukan Kesantunan Berbahasa........................................................
2.4 Faktor-Faktor Penentu Berbahasa.............................
2.5 Aspek non-Linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa..................................
BAB
III PENUTUP.................................................................................................................
3.1
Kesimpulan........................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa merupakan sebuah sarana yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi. bahasa
yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada yang lebih baik atau lebih
buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu mengungkapkan sebagian besar
pikiran dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan karena bahasa itu lebih
baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu menggali potensi
bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan bahasanya tetapi
kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama, yaitu sebagai alat
komunikasi.
Menurut Kridalaksana (1993: 21), bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia pasti menggunakan bahasa untuk
berinteraksi satu sama lain. Chaer dan Agustina (2004: 14) menyatakan bahwa
secara tradisional dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat untuk
berinteraksi atau sebagai alat komunikasi, dalam arti bahasa digunakan untuk
menyampaikan informasi, perasaan, gagasan, ataupun konsep.
Dalam berinteraksi, diperlukan aturan-aturan yang mengatur penutur dan
lawan
tutur agar nantinya dapat terjalin komunikasi yang baik diantara keduanya.
Aturan-aturan tersebut terlihat pada prinsip kesantunan berbahasa yang
dikemukakan oleh Leech (1993: 206).
Dalam berbahasa, manusia perlu memperhatikan adanya kesantunan berbahasa
ketika berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hal itu bertujuan agar
manusia bisa menggunakan bahasa yang santun dan tidak melakukan kesalahan dalam
berbahasa.
Sebuah
tuturan dikatakan santun atau tidak, sangat tergantung pada ukuran kesantunan
masyarakat penutur bahasa yang dipakai. Tuturan dalam bahasa Indonesia secara
umum sudah dianggap santun jika penutur menggunakan kata-kata yang santun,
tuturannya tidak mengandung ejekan secara langsung, tidak memerintah secara
langsung, serta menghormati orang lain. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa
ini perlu dikaji guna mengetahui seberapa banyak kesalahan atau penyimpangan
kesantunan berbahasa pada manusia ketika berkomunikasi satu sama lain.
Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kesantunan berbahasa merupakan
aspek
yang sangat penting untuk membentuk karakter dan sikap seseorang. Disamping
menggunakan bahasa yang santun, juga harus diimbangi dengan penggunaan bahasa
yang komunikatif, sehingga dalam berinteraksi dengan masyarakat atau seseorang
pesan yang kita sampaikan mudah dipahami dan diterima dengan baik.
1.2
Rumusan Masalah
11)
Apakah pengertian santun
berbahasa?
22)
Mengapa berbahasa
santun sangat diperlukan?
33)
Bagaimanakah pembentukan kesantunan berbahasa?
44)
Apa saja
faktor-faktor penentu kesantunan berbahasa?
55)
Apa saja
aspek-aspek non-linguistik yang mempengaruhi kesantunan berbahasa?
1.3
Tujuan
11)
Untuk mengetahui
pengertian santun berbahasa.
22)
Untuk mengetahui
alasan berbahasa santun.
33)
Untuk mengetahui
pembentukan kesantunan berbahasa.
44)
Untuk mengetahi
faktor-faktor penentu kesantunan berbahasa.
55)
Untuk mengetahui
aspek-aspek non-linguistik yang mempengaruhi kesantunan berbahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Santun Berbahasa
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat
meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya. Karena didalam
komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan
kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.
Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing-
masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan
lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga
muka. Kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etika adalah
tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan
berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau
tatacara berbahasa.
Struktur bahasa yang santun
adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak
menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Bahasa yang benar adalah bahasa
yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Seseorang sedang berkomunikasi
dalam situasi tidak resmi, mereka menggunakan kaidah bahasa tidak resmi. Ketika
seseorang sedang menulis karya ilmiah untuk makalah, skripsi, tesis, atau
disertasi mereka menggunakan kaidah bahasa baku. Jika penulis sedang memerankan
tokoh pejabat, maka bahasa yang digunakan adalah kaidah bahasa resmi. Masih ada
satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Ketika seseorang
sedang berkomunikasi, hendaknya disampaikan baik dan benar juga santun. Kaidah
kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Agar pemakaian bahasa terasa
semakin santu, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang
dapat dirasa sebagai bahasa santun, seperti:
1)
Menggunakan tuturan tidak langsung biasanya terasa lebih santun jika
dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung.
2)
Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan
dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata lugas.
3)
Ungkapan memakai gaya bahasa penghalus terasa lebih santun dibandingkan
dengan ungkapan biasa.
4)
Tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksud biasanya tuturan
lebih santun
5)
Tuturan yang dikatakan secara implisit biasanya lebih santun
dibandingkan dengan tuturan yang dikatakan secara eksplisit.
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator
dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara
berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses
belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan
orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena
tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut :
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
2.2 Alasan
Berbahasa Santun
Bahasa merupakan alat komunikasi,
berkomunikasi merupakan interaksi antara penutur dengan mitra tutur. Ada tiga
hal penting ketika penutur berinteraksi dengan mitra tutur. Pertama, mitra
tutur diharapkan dapat memahami maksud yang disampaikan oleh penutur. Kedua,
setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek
tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh
orang lain (orang ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan
komunikasi antar penutur dengan mitra tutur.
Berbahasa dan berprilaku
santun merupakan kebutuhan setiap orang, bukan sekedar kewajiban. Seseorang
berbahasa dan berprilaku santun sebenarnya lebih dimaksudkan sebagai wujud
aktualisasi diri. Setiap orang harus menjaga kehormatan dan martabat diri sendiri.
Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga mau menghargainya. Inilah hakikat
berbahasa secara santun.
2.3 Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Kesantunan
berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat
prinsip yaitu: Pertama,
penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini
ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau
rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan
(bersmaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pad diri sendiri.
Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip
kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan)
percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan
maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnay, yaitu
(1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan
yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri,
(3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain
dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang
mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5)
maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim
kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan
prinsip kesopanan ini, orang todak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag
merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang
kondusif.
Kedua,
penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata
yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang
lazimditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang
menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk
kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari,
kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupaka kalimat yang
menggunakan kata tabu karena diucapkan oelh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan
berlangsung.
Ketiga,
sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan
penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan
negatif. Yang perlu diingat adalah, eufemisme harus digunakan secara wajar,
tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan
untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat
ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan
menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan pejabat. Kata
"miskin" diganti dengan "prasejahtera",
"kelaparan" diganti dengan "busung lapar",
"penyelewengan" diganti "kesalahan prosedur, "ditahan"
diganti "dirumahkan", dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan
publik. Kebohongan itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.
Keempat,
penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang
lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang
mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa
yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan,
penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk
pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam
bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih
tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan,
sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu mempunyai efek kesantunan
yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut
menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria
yang lebih tua.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah
memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, oemakaian bahasa yang sengaja
dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang
sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan
ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat
Indonesia kaena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan
menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika
penutur tidak bermaksud mengaburka komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara
tidak tahu apa yang dimaksudkannya.
2.4 Faktor-faktor
Penentu Kesantunan Berbahasa
1. Faktor Penentu Kesantunan
Faktor kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian
bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor kesantunan dari aspek
kebahasaan dapat diidentifikasi sebagai berikut. Aspek penentu kesantunan dalam
bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor
pilihan kata, dan faktor struktur kalimat.
Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa
nonverbal, seperti gerak gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala,
acungan tanggan, kepalan tangan, tangan kerkacak pinggang, dan sebagainya.
Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis,
seperti pilihan kata yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang pendeknya
struktur kalimat, ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Faktor penentu kesantunan dari aspek nonkebahasaab berupa pranata sosial
budaya masyarakat, pranata adat, seperti jarak bicara antara penutur dan mitra
tutur dan sebagainya.
2. Faktor yang dapat Menggagalkan Komunikasi
Banyak faktor yang menyebabkan komunikasi dapat gagal, antara lain: (a)
mitra tutur tidak memiliki informasi lama sebagai dasar memahami informasi baru
yang disampaikan penutur, (b) mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi
yang disampaikan penutur, (c) mitra tutur tidak berkenan dengan cara
menyampaikan informasi si penututur, (d) apa yang diinginkan memang tidak ada
atau tidak dimiliki oleh mitra tutur, (e) mitra tutur tidak memahami yang
dimaksud oleh penutur, dan (f) jika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru
melanggar kode etik.
3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan
Faktor yang menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa ditentukan oleh
dua hal, yaitu faktor kebahasaan, dan faktor non-kebahasaa. Faktor kebahasaan
yang dimaksud adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik
bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Faktor kebahasaan verbal yang dapat
menentukan kesantunan dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) pemakaian
diksi, (2) Pemakaian gaya bahasa (majas metafora, majas personifikasi, majas
peribahasa, majas perumpamaan).
4. Faktor Nonkebahasaab sebagai Penentu Kesantunan
Ketikka orang berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor
bahasa. Faktor-faktor nonkebahasaan juga ikut menentukan kesantunan. (1) topik
pembicaraan, (2) konteks situasi komunikasi.
2.5 Aspek-aspek
non-linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa
Karena tatacara
berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi, maka selain unsur-unsur
verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun
perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur
paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam
rangka pencapaian kesantunan berbahasa.
Paralinguistik berkenaan dengan viri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara dengan temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya.
Paralinguistik berkenaan dengan viri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara dengan temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya.
Gerak
tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah
seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut
gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi.
Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi,
fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya
ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil
menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya
terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal itu, yaitu
menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil
temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang
sebagai pengganti ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!".
Sebenarnya
banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal
karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan,
cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di
sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan
jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda)
segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat
berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan
kinetik ini. Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinetik
atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan
berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan ketidaksantunan
berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan menciptakan
kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara
dengan tamunya dianggap kurang santun.
Unsur
nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah
proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau
antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi
berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau
ketidaksantunan bwerkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama,
setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan bernagkulan;
dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika
ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung
menundukkan kepala sambil bwrjabat tangan dengan kedua tangannya. Si mantan
dosen, sambil mengulurkan tangan kannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa
yang bersangkuan.
Pada
contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda
dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu
dipertikarkan,maka akan terlihat janggal, bahkan dinilai tidak sopan. Mamsih
banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemika ini, misalnya sikap dan
posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara
dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara
di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang
sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan,
dan tatacara berbahasa.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinetik, dan
prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi deperlukan dalam penciptaan
kesantunan berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena
berbeda setiap konteks situasi. Yang penting, bagaimana ketiga unsur bisa
menciptakan situasi komunikasi yang tidak menimbulkan salah paham dan
ketersinggungan kepada yang diajak berkomunikasi.
Selain
ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana
atau situasi komunikasi oleh peserta yang terlibat. Mialnya, sewaktu ada acara
yang memerlukan pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan
telepon genggam (handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan
suara keras. Kalau terpaka menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh
dari acara tersebut atau suaradiperkecil.
Kecenderungan mendominasi pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan komunikasi.
Kecenderungan mendominasi pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan komunikasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara teoretis, semua orang harus berbahasa secara
santun. Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan
komunikasi dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan saat
menggunakan bahasa juga harus memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa baik kaidah
linguistik maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi dapat tercapai. Kesantunan
berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional penuturnya. Karena didalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut
menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga
keharmonisan hubungan. Struktur bahasa yang
santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak
menyinggung perasaan pendengar atau pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Salam, H
Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Selly. 2011. Berbahasa
Santun. http://shellyicecreamvanilla.blogspot.com/2011/10/berbahasa-santun.html
Diakses pada tanggal 07 Maret 2014 pukul 20.47
Silzen, Peter.
1990. "Bahasa sebagai Ungkapan Perasaan". Makalah. Depok: Fakultas
Sastra UI.
Komentar
Posting Komentar